Wednesday 6 June 2012

FAKTA SAHIH MENASIHATI PEMIMPIN KE ARAH KEBAIKAN....



Rasulullah S.A.W bersabda:
“Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin (negara) dalam suatu perkara, maka janganlah disebarkan (dicanang) secara terang-terangan, akan tetapi peganglah tangannya dan ajaklah dia berbincang dengan diam-diam. Jika dia menerima, maka itu diharapkan, jika tidak maka sesungguhnya kamu telah menunaikan kewajipan” . (Majma 5/229. Hadis Riwayat Imam Ahmad. Lihat: As-Sunnah 2/522 dari jalur Muhammad bin Ismail bin Abbas)

Imam an-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) berkata:
“Dan makna hadis ini adalah, jangan kamu menentang kekuasaan ulil amri (pemimpin) dan janganlah kamu membangkang melainkan apabila kamu melihat kemungkaran yang nyata daripada mereka, yang kamu ketahui bahawa perkara tersebut termasuk tunjang-tunjang Islam (min qowaa’idil Islaam). Apabila kamu melihat seperti itu, maka ingkarilah dan sampaikanlah yang benar di mana pun kamu berada. Adapun memisahkan diri keluar dari ketaatan kepadanya dan memusuhi (atau memerangi) mereka, adalah haram berdasarkan ijma’ muslimin (umat Islam), walaupun pemimpin tersebut termasuk orang-orang yang fasiq lagi zalim.” (Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 12/229. Turut disebutkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari, 13/8).

Dalam sebuah riwayat daripada Sa’id B. Jubair rahimahullah ketika bertanya kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, “Adakah aku perlu mengajak pemimpinku kepada kebaikan?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Sekiranya engkau takut ia akan membunuhmu, maka tidak perlu. Tetapi jika kamu memang hendak melakukannya, maka lakukanlah (nasihat tersebut) hanya di antara engkau dengan dia sahaja.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Syu’abul Iman, 6/96, no. 7592. Ibnu Abi Syaibah 15/74, no. 38462. Juga disebutkan oleh Ibnu Rejab al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, m/s. 82 – Maktabah Syamilah)

Sikap Usamah bin Zaid, Salah seorang Sahabat Baginda yang Sangat Berhikmah Dalam Menasihati Pemerintah:
Dari Al A'masy dari Abu Wa'il berkata; "Dikatakan kepada Usamah;
"Seandainya kamu temui fulan ('Utsman bin 'Affan radliallahu 'anhu) lalu kamu berbicara (nasihatlah) dengannya". Usamah berkata; "Apakah kamu berpendapat semua nasihatku kepadanya itu harus diperdengarkan kepada kamu. Sungguh aku sudah berbicara kepadanya secara rahsia, Dan aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu (fitnah) ini (menyebarkan berita buruk tentang pemerintah). Aku juga tidak akan mengatakan kepada seseorang yang seandainya dia menjadi pemimpinku, bahwa dia sebagai manusia yang lebih baik" (HR Bukhari no. 3027, Muslim no. 5305)

Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim -rahimahumallah- dalam Shahih keduanya meriwayatkan:
“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid) radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat Al-Imam Muslim, si fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan radhiyallahu‘anhu) lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian benar-benar mengira bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu]
syarah hadis tersebut:

Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“, maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian isyaratkan tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat dan adab (dalam menasihati penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan (nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari, (13/51)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- juga menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma- ternyata bukanlah kemungkaran yang tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zhahir dan telah tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah,

“Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu) yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa secara terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat (yakni persatuan kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”, kemudian beliau (Usamah) memberitahu mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari muka pada seseorang meskipun pada seorang pemimpin, akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menasihati pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata, “Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”. [Lihat Fathul Bari, (13/52)]

Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi –rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“, maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah), karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan kaum muslimin) dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, (23/33)]

Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam menerangkan perkataan Usamah pada riwayat Muslim, beliau berkata: “Aku membuka perkara yang aku tidak suka jika akulah yang pertama membukanya (yakni mencontohkan keburukan),” maknanya adalah, “Terang-terangan dalam menasihati penguasa di depan khalayak, sebagaimana pernah terjadi pada para pembunuh ‘Utsman -radhiyallahu’anhu-. Dalam hadits ini terdapat adab bersama penguasa, lemah lembut terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia dan menyampaikan perkataan manusia tentang mereka agar mereka berhenti dari kemungkaran tersebut. [Lihat Syarah Muslim, (18/118)]

Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah menasihatinya secara empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman -radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut, karena yang demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara terang-terangan dalam mengingkari penguasa dan menghindari sikap penentangan terhadap penguasa, sebab cara menasihati penguasa dengan terang-terangan sangat berpotensi melahirkan berbagai macam fitnah dan kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim, (6/619)]

Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah-(wafat: 250H) berkata, “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam sebagian masalah agar ia menasihati penguasa tersebut, dan janganlah ia menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana terdapat dalam hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-), hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya, dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar, (4/556)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz –rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan Salaf adalah menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]

Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]

Ibnu Nahhas berkata (wafat: 416 H):
“Dalam masalah menegur penguasa (pemimpin), pendapat yang benar ialah melakukannya secara individu, bukan di hadapan khalayak ramai. Bahkan amat baik jika tegurannya secara rahsia atau menasihatinya dengan cara sembunyi-sembunyi, tanpa ada pihak yang ketiga”. (Tanbih al-Gafilin an-A’malil Jahilin wa-Ta’zirus Salikin Min Af’alil Halikin. Hlm. 64)

Inilah fakta yang sebenarnya.... berdasarkan Al-Quran dan tafsirnya daripada kitab tafsir dan hadis yang berdasarkan pada syarah serta ijma' ulama' ASWJ.. 

Silalah baca SEMOGA MEMBERI MANFAAT KEPADA PEMBACA SEKALIANNYA....

***BP :  Terima kasih rakan FB....


No comments: