Rasulullah S.A.W bersabda:
“Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin
(negara) dalam suatu perkara, maka janganlah disebarkan (dicanang) secara
terang-terangan, akan tetapi peganglah tangannya dan ajaklah dia berbincang
dengan diam-diam. Jika dia menerima, maka itu diharapkan, jika tidak maka
sesungguhnya kamu telah menunaikan kewajipan” . (Majma 5/229. Hadis Riwayat
Imam Ahmad. Lihat: As-Sunnah 2/522 dari jalur Muhammad bin Ismail bin Abbas)
Imam an-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H)
berkata:
“Dan makna hadis ini adalah, jangan kamu
menentang kekuasaan ulil amri (pemimpin) dan janganlah kamu membangkang
melainkan apabila kamu melihat kemungkaran yang nyata daripada mereka, yang
kamu ketahui bahawa perkara tersebut termasuk tunjang-tunjang Islam (min
qowaa’idil Islaam). Apabila kamu melihat seperti itu, maka ingkarilah dan
sampaikanlah yang benar di mana pun kamu berada. Adapun memisahkan diri keluar
dari ketaatan kepadanya dan memusuhi (atau memerangi) mereka, adalah haram
berdasarkan ijma’ muslimin (umat Islam), walaupun pemimpin tersebut termasuk
orang-orang yang fasiq lagi zalim.” (Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim,
12/229. Turut disebutkan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari, 13/8).
Dalam
sebuah riwayat daripada Sa’id B. Jubair rahimahullah ketika bertanya kepada
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas, “Adakah aku
perlu mengajak pemimpinku kepada kebaikan?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Sekiranya
engkau takut ia akan membunuhmu, maka tidak perlu. Tetapi jika kamu memang
hendak melakukannya, maka lakukanlah (nasihat tersebut) hanya di antara engkau
dengan dia sahaja.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, Syu’abul Iman, 6/96, no.
7592. Ibnu Abi Syaibah 15/74, no. 38462. Juga disebutkan oleh Ibnu Rejab
al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, m/s. 82 – Maktabah Syamilah)
Sikap
Usamah bin Zaid, Salah seorang Sahabat Baginda yang Sangat Berhikmah Dalam
Menasihati Pemerintah:
Dari Al A'masy dari Abu Wa'il berkata;
"Dikatakan kepada Usamah;
"Seandainya kamu temui fulan ('Utsman bin
'Affan radliallahu 'anhu) lalu kamu berbicara (nasihatlah) dengannya".
Usamah berkata; "Apakah kamu berpendapat semua nasihatku kepadanya itu
harus diperdengarkan kepada kamu. Sungguh aku sudah berbicara kepadanya secara
rahsia, Dan aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu (fitnah)
ini (menyebarkan berita buruk tentang pemerintah). Aku juga tidak akan
mengatakan kepada seseorang yang seandainya dia menjadi pemimpinku, bahwa dia
sebagai manusia yang lebih baik" (HR Bukhari no. 3027, Muslim no. 5305)
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim
-rahimahumallah- dalam Shahih keduanya meriwayatkan:
“Dikatakan kepada Usamah (bin Zaid)
radhiyallahu’anhuma, “Kalau sekiranya engkau mendatangi si fulan (dalam riwayat
Al-Imam Muslim, si fulan yang dimaksud adalah: Utsman bin Affan
radhiyallahu‘anhu) lalu engkau menasihatinya?” Usamah menjawab, “Sesungguhnya
kalian benar-benar mengira bahwa aku tidak menasihatinya, kecuali jika aku
memperdengarkannya kepada kalian?! Sungguh aku telah menasihatinya secara
diam-diam, tanpa aku membuka sebuah pintu yang semoga aku bukanlah orang
pertama yang membuka pintu tersebut.” [HR. Al-Bukhari, (no. 3267, 7098) dan
Muslim, (no. 7408) dari Abu Wa’il radhiyallahu’anhu]
syarah
hadis tersebut:
Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah-
menjelaskan maksud perkataan Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh
aku telah berbicara (menasihati) beliau tanpa aku membuka sebuah pintu“,
maknanya adalah: “Aku telah menasihatinya dalam perkara yang kalian isyaratkan
tersebut, tetapi dengan memperhatikan maslahat dan adab (dalam menasihati
penguasa), yakni secara rahasia, sehingga tidak terjadi pada perkataan
(nasihatku) ini sesuatu yang bisa mengobarkan fitnah.” [Lihat Fathul Bari,
(13/51)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- juga
menukil penjelasan sebagian ulama tentang kemungkaran yang diisyaratkan kepada
Usamah bin Zaid -radhiyallahu’anhuma- ternyata bukanlah kemungkaran yang
tersembunyi dari masyarakat, tetapi kemungkaran yang zhahir dan telah tersebar
beritanya di tengah-tengah masyarakat, yaitu tentang salah seorang pejabat
Utsman bin Affan -radhiyallahu’anhu- yang bernama Al-Walid bin ‘Uqbah yang
tercium dari mulutnya bau nabidz (sejenis khamar), kemudian Al-Hafizh Ibnu
Hajar –rahimahullah- berkata dalam menjelaskan perkataan Usamah,
“Sungguh aku telah menasihatinya secara
rahasia (tidak terang-terangan), tanpa aku membuka sebuah pintu”, makna (pintu)
yang dimaksud adalah: “Pintu pengingkaran atas kemungkaran para penguasa secara
terang-terangan, karena khawatir akan memecah belah kalimat (yakni persatuan
kaum muslimin di bawah seorang pemimpin)”, kemudian beliau (Usamah) memberitahu
mereka bahwa ia tidak sedikitpun mencari muka pada seseorang meskipun pada
seorang pemimpin, akan tetapi ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk
menasihati pemimpin secara rahasia (tidak terang-terangan)”. [Lihat Fathul
Bari, (13/52)]
Al-Qodhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata,
“Maksud Usamah, bahwa ia tidak ingin membuka pintu (memberi contoh) cara
mengingkari penguasa dengan terang-terangan, karena ia khawatir dampak buruk
dari cara tersebut. Akan tetapi yang beliau lakukan adalah dengan lemah lembut
dan menasihati secara rahasia, karena cara tersebut lebih dapat diterima”.
[Lihat Fathul Bari, (13/52)]
Al-‘Allamah Badruddin Al-‘Aini Al-Hanafi
–rahimahullah- juga menjelaskan perkataan Usamah bin Zaid
-radhiyallahu’anhuma-, “Sungguh aku telah menasihatinya secara rahasia“,
maknanya, “Aku menasehati penguasa secara diam-diam, sehingga aku tidak membuka
sebuah pintu dari pintu-pintu fitnah. Kesimpulannya, aku (Usamah) menasihatinya
demi meraih kemaslahatan bukan untuk memprovokasi munculnya fitnah (masalah),
karena cara mengingkari para penguasa dengan terang-terangan terdapat semacam
sikap penentangan terhadapnya. Sebab pada cara tersebut terdapat pencemaran
nama baik para pemimpin yang mengantarkan kepada terpecahnya kalimat (persatuan
kaum muslimin) dan tercerai-berainya jama’ah”. [Lihat Umdatul Qari Syarh Shahih
Al-Bukhari, (23/33)]
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- dalam
menerangkan perkataan Usamah pada riwayat Muslim, beliau berkata: “Aku membuka
perkara yang aku tidak suka jika akulah yang pertama membukanya (yakni
mencontohkan keburukan),” maknanya adalah, “Terang-terangan dalam menasihati
penguasa di depan khalayak, sebagaimana pernah terjadi pada para pembunuh ‘Utsman
-radhiyallahu’anhu-. Dalam hadits ini terdapat adab bersama penguasa, lemah
lembut terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia dan menyampaikan
perkataan manusia tentang mereka agar mereka berhenti dari kemungkaran
tersebut. [Lihat Syarah Muslim, (18/118)]
Al-Imam Al-Qurthubi -rahimahullah- menerangkan
perkataan Usamah dalam riwayat Muslim: “Sungguh aku telah menasihatinya secara
empat mata”, maksudnya adalah, “Ia (Usamah) telah menasihati Utsman
-radhiyallahu’anhu- secara langsung dengan perkataan yang lembut, karena yang
demikian itu lebih hati-hati untuk menghindari cara terang-terangan dalam
mengingkari penguasa dan menghindari sikap penentangan terhadap penguasa, sebab
cara menasihati penguasa dengan terang-terangan sangat berpotensi melahirkan
berbagai macam fitnah dan kerusakan.” [Lihat Al-Mufhim Syarah Shohih Muslim,
(6/619)]
Al-Imam Asy-Syaukani -rahimahullah-(wafat:
250H) berkata, “Sepatutnya bagi orang yang mengetahui kesalahan penguasa dalam
sebagian masalah agar ia menasihati penguasa tersebut, dan janganlah ia
menampakan celaan kepada penguasa di depan publik. Akan tetapi sebagaimana
terdapat dalam hadits (yakni hadits ‘Iyadh bin Ganm -radhiyallahu’anhu-),
hendaklah ia meraih tangan sang penguasa dan menyepi dengannya, lalu menasihatinya,
dan janganlah ia menghinakan sultan (penguasa) Allah”.[Lihat As-Sail Al-Jarrar,
(4/556)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’di –rahimahullah- berkata, “Bagi siapa yang melihat suatu kemungkaran
yang dilakukan oleh penguasa, hendaklah ia memperingatkan mereka secara
rahasia, tidak terang-terangan di khalayak, dengan cara yang lembut dan
perkataan yang sesuai dengan keadaan.” [Lihat Ar-Riyadh An-Nadhirah, (hal. 50)]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz –rahimahullah- berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf, membeberkan
aib-aib penguasa, dan menyebutkannya di atas mimbar-mimbar, karena hal itu akan
mengantarkan kepada ketidakstabilan (negara), sehingga masyarakat tidak mau
dengar dan taat kepada pemerintah dalam perkara ma’ruf, dan mengantarkan kepada
pemberontakan yang merusak dan tidak bermanfaat. Tapi metode yang dicontohkan
Salaf adalah menasehati secara empat mata, menyurat, dan menghubungi para ulama
yang memiliki akses langsung kepada penguasa, sehingga sang penguasa bisa
diarahkan kepada kebaikan”. [Lihat Haqqur Ro’iy war-Ro’iyyah, (hal. 27)]
Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin –rahimahullah- berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita
sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama:
Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga
terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut,
maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang
pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan
terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah
Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]
Ibnu Nahhas berkata (wafat: 416 H):
“Dalam masalah menegur penguasa (pemimpin),
pendapat yang benar ialah melakukannya secara individu, bukan di hadapan
khalayak ramai. Bahkan amat baik jika tegurannya secara rahsia atau
menasihatinya dengan cara sembunyi-sembunyi, tanpa ada pihak yang ketiga”.
(Tanbih al-Gafilin an-A’malil Jahilin wa-Ta’zirus Salikin Min Af’alil Halikin.
Hlm. 64)
Inilah fakta yang sebenarnya.... berdasarkan Al-Quran dan tafsirnya daripada kitab tafsir dan hadis yang berdasarkan pada syarah serta ijma' ulama' ASWJ..
Silalah baca SEMOGA MEMBERI MANFAAT KEPADA PEMBACA SEKALIANNYA....
***BP : Terima kasih rakan FB....